A. Tahun dan tempat kelahiran serta sililah Imam Hanafi
Menurut riwayat yang paling masyhur, Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 Masehi). Nama beliau yang sebenarnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau merupakan keturunan dari bangsa Persi (Kabul-Afghanistan), setapi sebelum beliau dilahirkan, ayah beliau telah pindah ke Kuhaf. Jadi dapat disimpulkan bahwa beliau bukanlah keturunan dari bangsa Arab asli, melainkan keturunan bangsa Ajam (bangsa selain Arab), dan beliau dilahirkan ditengah-tengah keluarga bangsa Persia. Pada masa beliau dilahirkan, pemerintahan islam sedang berada dalam kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (Raja dari Banu Umayah ke V).
Menurut riwayat yang paling masyhur, Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 Masehi). Nama beliau yang sebenarnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau merupakan keturunan dari bangsa Persi (Kabul-Afghanistan), setapi sebelum beliau dilahirkan, ayah beliau telah pindah ke Kuhaf. Jadi dapat disimpulkan bahwa beliau bukanlah keturunan dari bangsa Arab asli, melainkan keturunan bangsa Ajam (bangsa selain Arab), dan beliau dilahirkan ditengah-tengah keluarga bangsa Persia. Pada masa beliau dilahirkan, pemerintahan islam sedang berada dalam kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (Raja dari Banu Umayah ke V).
Menurut
salah satu riawayat disebutkan bahwa ayah beliau sewaktu kecil pernah
diajak ziarah kepada Ali bin Abi Thalib oleh ayahnya yang bernama Zautha
, dan di do’akan oleh sayidina Ali : “Mudah-mudahan dari keturunannya
ada yang akan menjadi orang dari golongan orang-orang baik dan berbudi
luhur”.
Gelar “Abu Hanifah” beliau peroleh setelah dikaruniai
beberapa orang putera, dan diantara putranya itu ada yang diberi nama
Hanifah. Namun menurut riwayat yang lain disebutkan bahwa gelar Abu
Hanifah diberikan karena beliau adalah seorang yang rajin beribadat
kepada Allah dan sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya dalam
beragama.
Dalam Bahasa Arab perkataan “Hanif” mengandung arti “Cenderung
atau Condong” kepada agama yang benar. Ada pula dalam riwayat lain
disebutkan bahwa gelar Abu Hanifah beliau peroleh karena eratnya
berkawan dengan tinta, sebab dalam lughat Iraq bahwa arti kata “Hanifah”
adalah dawat atau tinta, karena kemanapun belia pergi selalu membawa
tinta guna menncatat ilmu pengetahuan yang beliau dapatkan dari para
guru atau sumber lainnya.
B. Pribadi dan keluhuran budi Imam Hanafi
Disebutkan dalam satu riwayat mengenai kedaan fisik dan kejiwaan Imam Hanafy adalah sebagai berikut :
B. Pribadi dan keluhuran budi Imam Hanafi
Disebutkan dalam satu riwayat mengenai kedaan fisik dan kejiwaan Imam Hanafy adalah sebagai berikut :
Imam
Hanafy memiliki bentuk tubuh yang tegap, tingginya sedang, dan
terbayang dalam mukanya suatu sifat yang kekerasan dalam hati
sanubarinya, fikirannya cerdas dan memiliki cita-cita yang luhur.
Apabila beliau berkata selalu dengan perkataan yang lembut dan manis, karena lidahnya yang fasih dan kemerduan suaranya dalam menyerukan ajaran agama islam, beliau juga adalah seorang yang peramah, rajin bekerja dan tidak pernah bercakap-cakap hal-hal yang tidak bermanfaat.
Apabila beliau berkata selalu dengan perkataan yang lembut dan manis, karena lidahnya yang fasih dan kemerduan suaranya dalam menyerukan ajaran agama islam, beliau juga adalah seorang yang peramah, rajin bekerja dan tidak pernah bercakap-cakap hal-hal yang tidak bermanfaat.
Tentang
keluhuran budi Imam Hanafy, selain seperti apa yang telah disebutkan
diatas, juga terdapat kutipan perkataan beliau yaitu :
“Mudah-mudahan
Allah mengampuni kepada barang siapa yang yang mengatakan kepadaku
dengan kebencian, dan mudah-mudahan Allah mengasihani kepada barang
siapa yang mengatakan kepada diriku dengan kebaikan”
C. Para guru Imam Hanafi
C. Para guru Imam Hanafi
Menurut para ahli sejarah bahwa diantara para guru Imam Hanafy yang terkenal adalah :
1. Anas bin Malik
2. Abdullah bin Harits
3. Abdullah bin Abi Aufa
4. Watsilah bin Al-Asqa
5. Ma’qil bin Ya’sar
6. Abdullah bin Anis
7. Abu Thafail (Amir bin watsilah)
1. Anas bin Malik
2. Abdullah bin Harits
3. Abdullah bin Abi Aufa
4. Watsilah bin Al-Asqa
5. Ma’qil bin Ya’sar
6. Abdullah bin Anis
7. Abu Thafail (Amir bin watsilah)
Adapun
para ulama yang pernah beliau datangi untuk dipelajari ilmu
pengetahuannya sekitar 200 orang yang kebanyakan dari mereka adalah dari
golongan thabiin (orang-orang yang hidup dimasa kemudian setelah para
sahabat Nabi), diantara para ulama yang terkenal itu adalah : Imam Atha’
bin Abi Rabbah (wafat tahun 114 H) dan Imam Nafi’ Maula Ibnu Umar
(wafat tahun 117 H).
Sedangkan ahli fikih yang menjadi guru beliau yang paling terkenal adalah Imam Hammad bin abu Sulaiman (wafat tahun 120 H), Imam Hanafy berguru ilmu fikih kepada beliau dalam kurun waktu 18 tahun.
Sedangkan ahli fikih yang menjadi guru beliau yang paling terkenal adalah Imam Hammad bin abu Sulaiman (wafat tahun 120 H), Imam Hanafy berguru ilmu fikih kepada beliau dalam kurun waktu 18 tahun.
Para guru Imam Hanafy yang lainnya adalah : Imam Muhammad
Al-Baqir, Imam Ady bin Tsabit, Imam Abdurrahman bin Hamzah, Imam Amr bin
Dinar, Imam Manshur bin Mu’tamir, Imam Syu’bah bin Hajjaj, Imam Ashim
bin Abin Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi’ah bin
Abdurrahman, dll.
D. Cara Imam Hanafi dalam memberikan pengajaran
D. Cara Imam Hanafi dalam memberikan pengajaran
Imam
Hanafy dalam memberikan pengajaran kepada murid-muridnya yang telah
dewasa ialah dengan menekankan agar murid-muridnya dapat lebih kritis
dan dewasa dalam berfikir, tidak hanya menitik beratkan kepada apa yang
telah beliau jelaskan saja, dengan maksud agar para murid-muridnya dapat
mencari dan menyelidiki dari mana asal dan sumber pengetahuan yang
beliau sampaikan serta membahas hukum-hukun agama dengan sebaik-baiknya,
seluas-luasnya dan dengan arti kata yang sebenarnya mengikuti ajaran
Allah dan sunah-sunah rasulnya.
Lebih jelasnya bahwa Imam Hanafy
terhadap para muridnya hanya selaku pengajar ( guru ) saja dan tidak
terikat pribadi beliau. Mereka diberi kemerdekaan untuk berfikir,
dibebaskan untuk memecahkan masalah-masalah yang perlu dipecahkan,
bahkan sewaktu-waktu diperkenankan untuk membantah terhadap
pengajaran-pengajaran dan atau pendapat-pendapat beliau tentang segala
masalah yang kiranya terasa olehnya menyalahi wahyu ilahi atau berawanan
dengan hadits nabi, yang disertai dengan penyelidikan akal yang
bersih, murni dari segala macam pengaruh.
E. Dasar-dasar hukum Madzhab Imam Hanafi
E. Dasar-dasar hukum Madzhab Imam Hanafi
Sebagaimana
telah sedikit kami jelaskan diatas tentang cara Imam Hanafy dalam
memberikan pengajaran, yaitu dengan memberi kebebasan berfikir terhadap
murid-muridnya mengenai masalah-masalah baru yang belum \didapatkan
dalilnya dari Al-Qur’an dan dari As-Sunah dan mereka dilarang bertaqlid
dengan beliau, maka sewaktu-waktu para murid beliau yang terpandang
dapat diajak bermubahatsah (bertukar fikiran) membicarakan
masalah-masalah yang harus dipecahkan dan dicari alasannya dari segi
Qur’an dan Sunah.
Imam Muhammad bin Hasan pernah meriwayatkan, bahwa
Imam Abu Hanifah sering kali mengajak bermunadlarah, bermubahatsah,
berunding dan bertukar fikiran dengan para murid atau dengan para
sahabat dekat beliau, tentang soal-soal hukum qiyas, dengan cara bebas
dan merdeka. Sewaktu-waktu para murid beliau membantah kepada
pendapat-pendapat yang dikemukakan beliau, kemudian Imam Abu Hanifah
menjawab “ saya istihsan atau mencari kebagusan” dan para murid
beliaupun tunduk kepada beliau dengan perkataan istihsan tadi.
Secara garis besar bahwa dasar-dasar Madzhab Imam Hanafy adalah bersandar kepada :
1. Al-qur’an
2. Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang shahih serta telah terkenal diantara para ulama yang ahli
3. Fatwa-fatwa dari para sahabat
4. Qiyas
5. Istihsan
6. Adat yang telah berlaku dikalangan masyarakat umat islam
Demikian dasar-dasar madzhab Imam Hanafy yang sebenarnya, sebagaimana telah diketahui oleh para ulama ahli ushul fiqih.
F. Para Murid Imam Hanafi yang terkenal
1. Al-qur’an
2. Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang shahih serta telah terkenal diantara para ulama yang ahli
3. Fatwa-fatwa dari para sahabat
4. Qiyas
5. Istihsan
6. Adat yang telah berlaku dikalangan masyarakat umat islam
Demikian dasar-dasar madzhab Imam Hanafy yang sebenarnya, sebagaimana telah diketahui oleh para ulama ahli ushul fiqih.
F. Para Murid Imam Hanafi yang terkenal
Menurut
riwayat para ulama sejarah dikatakan bahwa Imam Hanafy mempunyai murid
yang luar biasa banyaknya, namun dari seluruh murid-muridnya itu ada 4
murid yang sangat terpandang atau terkenal dan sampai sekarang masih
sering disebut-sebut di kalangan umat islam, yaitu :
1. Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Ansori, ( lahir tahun 113 H ).
Sebelum Imam Abu Yusuf menimba ilmu kepada Imam Hanafy, pertama kali ia menimba ilmu dari Imam Abi Laila, sampai beberapa tahun lamanya di kota Kufah, namun entah apa sebabnya kemudian ia berpindah menimba ilmu pengetahuan kepada Imam Hanafy.
Pada masa itu Imam Abu Yusuf merupakan kepala murid bagi Imam Hanafy dan banyak pula membantu Imam Hanafy, beliau pula yang pertama kali menghimpun catatan-catatan dan pelajaran-pelajaran dari Imam Abu-Hanifah yang selanjutnya beliau pula yang menyiarkan pengetahuan dan pendapat-pendapat Imam Hanafy di berbagai tempat.
2. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibani ( 132 – 189 H )
Dari sejak usia muda Imam Muhammad bin Hasan gemar menuntut berbagai macam ilmu pengetahuan agama, kemudian dengan perantaraan para ulama irak, lalu beliau belajar dan menimba ilmu kepada Imam Hanafy.
Sebelum Imam Abu Yusuf menimba ilmu kepada Imam Hanafy, pertama kali ia menimba ilmu dari Imam Abi Laila, sampai beberapa tahun lamanya di kota Kufah, namun entah apa sebabnya kemudian ia berpindah menimba ilmu pengetahuan kepada Imam Hanafy.
Pada masa itu Imam Abu Yusuf merupakan kepala murid bagi Imam Hanafy dan banyak pula membantu Imam Hanafy, beliau pula yang pertama kali menghimpun catatan-catatan dan pelajaran-pelajaran dari Imam Abu-Hanifah yang selanjutnya beliau pula yang menyiarkan pengetahuan dan pendapat-pendapat Imam Hanafy di berbagai tempat.
2. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibani ( 132 – 189 H )
Dari sejak usia muda Imam Muhammad bin Hasan gemar menuntut berbagai macam ilmu pengetahuan agama, kemudian dengan perantaraan para ulama irak, lalu beliau belajar dan menimba ilmu kepada Imam Hanafy.
Belum berapa
lama beliau belajar kepada Imam Abu Hanifah, tiba-tiba Imam Abu Hanifah
Wafat padahal pada saat itu beliau baru berusuia 18 tahun. Oleh sebab
itu, beliau melanjutkan pendidikannya kepada Imam Abu Yusuf karena
mengetahui bahwa Imam Abu Yusuf adalah murid Imam Abu Hanifah yang
paling terkenal.
Akhirnya Imam Muhammad bin Hasan termasuk menjadi
seorang alim yang besar yang banyak memiliki ilmu pengetahuan tentang
hukum-hukum agama dan cabang-cabangnya, beliau pula termasuk golongan
ulama ahli ra’yi.
3. Imam Zafar bin Hudzail bin Qais ( 110 – 158 H )
Pada mulanya beliau rajin mempelajari ilmu hadits, kemudian berbalik pendirian amat suka mempelajari ilmu akal atau ra’yi. Sekalipun demikian, beliau tetap menjadi seorang yang suka belajar dan mengajar, dan selanjutnya belaiu terkenal sebagai mantan murid Imam Hanafy yang terkenal ahli qiyas, tergolong seorang yang terbaik pendapat-pendapatnya dan pandai tentang mengupas soal-soal keagamaan serta ahli ibadat.
4. Imam Hasan bin Ziyad Al-Luluy ( Wafat tahun 204 H )
Beliau adalah murid Imam Hanafy yang terkenal dan pernah pula belajar kepada Imam Ibnu Jurajj dan lain-lainnya. Setelah wafatnya Imam Hanafy, beliau lalu menimba ilmu kepada Imam Abu Yusuf kemudian kepada Imam Muhammad bin Hassan setelah Imam Abu Yusuf wafat.
Imam Hasan bin Ziyad termasuk kepada golongan murid Imam Hanafy yang terkenal di bidang ilmu fiqih.
G. Wafatnya Imam Hanafi
3. Imam Zafar bin Hudzail bin Qais ( 110 – 158 H )
Pada mulanya beliau rajin mempelajari ilmu hadits, kemudian berbalik pendirian amat suka mempelajari ilmu akal atau ra’yi. Sekalipun demikian, beliau tetap menjadi seorang yang suka belajar dan mengajar, dan selanjutnya belaiu terkenal sebagai mantan murid Imam Hanafy yang terkenal ahli qiyas, tergolong seorang yang terbaik pendapat-pendapatnya dan pandai tentang mengupas soal-soal keagamaan serta ahli ibadat.
4. Imam Hasan bin Ziyad Al-Luluy ( Wafat tahun 204 H )
Beliau adalah murid Imam Hanafy yang terkenal dan pernah pula belajar kepada Imam Ibnu Jurajj dan lain-lainnya. Setelah wafatnya Imam Hanafy, beliau lalu menimba ilmu kepada Imam Abu Yusuf kemudian kepada Imam Muhammad bin Hassan setelah Imam Abu Yusuf wafat.
Imam Hasan bin Ziyad termasuk kepada golongan murid Imam Hanafy yang terkenal di bidang ilmu fiqih.
G. Wafatnya Imam Hanafi
Didalam
satu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari Abu Jafar Al-manshur memanggil
Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan Ats Sauri, dan Imam Syarik An Naha’y
untuk datang dan menghadap kepadanya.
Setelah mereka bertiga
menghadap baginda raja, kemudian mereka satu persatu diberikan jabatan
sebagai qadhi. Imam Abu Sufyan dipercaya untuk menjadi wadhi di kota
Bashrah, Imam Syarik diberikan kepercayaan untuk menjadi qadhi di ibu
kota, dan Imam Abu Hanifah menolak jabatan tersebut, selanjutnya baginda
raja memerintahkan mereka untuk berangkat ke kota tempat mereka harus
bertugas dan memberikan ancaman bahwa “ barang siapa menolak jabatan
yang diberikan oleh baginda raja akan menerima hukuman berupa cambukan
seratus kali pukulan”
Imam Syarik menerima jabatan itu dan segera
menempati kota tempat ia harus melaksanakan tugas sebagai qadhi, Imam
Abu Sufyan menolak jabatan tersebut dan melarikan diri ke Yaman,
sementara Imam Abu Hanifah menolak jabatan tersebut dan tidak pula
melarikan diri kemanapun. Oleh seban itu lalu Imam Abu Hanifah
dipenjarakan dan diberi hukuman seratus kali cambukan serta dikalungkan
di lehernya besi yang sangat berat.
Selama menjalani hukuman penjara
dan hukuman cambuk tersebut, tidak henti-hentinya Al-Manshur
memberintahkan kepada Ibu Imam Hanafy untuk merayu putranya agar mau
menerima jabatan sebagai qadhi, namun dengan jawaban yang tegas beliau
tetap menolak jabatan tersebut hingga pada suatu hari Al-Manshur
memanggil beliau dan memberikan satu gelas air yang telah dicampur
dengan racun serta memaksa Imam Abu Hanifah untuk meminumnya, setelah
meminum air yang diberikan oleh Al-Manshur tersebut, Imam Abu Hanifah
dimasukan kembali kedalam penjara, dan pada saat itu pula dalam keadaan
bersujud Imam Abu Hanifah wafat.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun
150 H ( 767 M ) pada usia 70 Tahun dan jenazahnya di makamkan di
Al-Khaizaran, sebuah tempat pekuburan yang terletak di kota Baghdad, dan
dikatakan dalam riwayat yang lain bahwa pada waktu itu pula lahirlah
Imam Syafii.
________________________
Sumber: http://a-sae83.blogspot.com/
Menurut sumber lain:
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy
merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum
muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari
kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki
madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam
Hanafi.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu
Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus,
jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus
wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam
bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama
rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak
berguna.
Beliau
disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah
untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai
kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang
samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau
sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan
belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain
seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi,
Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar,
Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois
bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya,
Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan
masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat
bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau
pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau
ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan
menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku
tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku
memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal,
maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada
masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di
Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan
meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi
beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak
110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui
keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun
orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya
diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj
di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman
seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq
al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi,
Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman
al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi,
Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq,
Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim
bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan
al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin
Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin
Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus
Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid
bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan
lain-lain.
Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1.
Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia
tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan
apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata,
“Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga
berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang
jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2.
Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala
tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka
saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu
Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah
berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah,
orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya
tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’
kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling
berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan
ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya
siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk
Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah
diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik
berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang
paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang
paling faqih dari ketiganya”.
3.
Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya
bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal
sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak
melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan
tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4.
Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu
seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu
Hanifah”
5.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih,
terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar
dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan
kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois
bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin
Iyadh.
6.
Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt,
tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu
Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7.
Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah
fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan
dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9.
Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah
karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak
melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1.
Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4.
Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah
murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu
keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan
mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan
telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak
termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman,
dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu
Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits …
dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah
pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah
dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan
berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat,
dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari
segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang
jelas dan yang samar, dan yang semisalnya …
Dan
dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu
Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya
diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab
“Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang
yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya,
dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan
kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan tetapi kami
mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi
syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak
membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka
Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan
menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan
kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam
keadaan beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia
menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan
mengampuninya.”
5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah
kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini
merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul
Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu
dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan
di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan
yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh
Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan
kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian
yang ditujukan kepada Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh
kami telah meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata
riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam
maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk
ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari para imam yang
agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara
haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan
riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka
bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul
Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam
Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni
yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh baghdad) –
melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh
dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang
yang adil”
Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b.
Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami
selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat
tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui
dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain,
sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini,
dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan
dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah
engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka
sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan
aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu
pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh
Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam
terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah!
Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang
menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang
menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan
perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah
sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan
kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata
“Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata
Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai
berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan
(tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup
sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits
mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka
Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan
semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam
madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab
lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari
terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut
tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas
pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para ulama
lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang
diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”.
Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan
perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur
bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih
tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena
Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak
boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil,
bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam
dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.
c.
Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah
dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan
beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun,
dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan
dishalatkan sampai 6 kloter.
(diambil dari majalah Fatawa)
Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
____________________________________
Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Yurisprudensi Islam Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi'in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.[3]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
Referensi
- ^ Imaam Abu Hanifa (R.A.), Biography of One of The Four Great Imaams- I
- ^ The Conclusive Argument from God:Shah Wali Allah of Delhi's Hujjat Allah Al-baligha, pg 425
- ^ Imam-ul-A’zam Abu Hanifa, The Theologian
0 komentar:
Posting Komentar
Saudaraku, mari kita per-erat tali silaturrahmi dengan menuliskan komentar terbaikmu di sini..