Musdah Mulia merupakan Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Sekretaris Jendral ICRP (Indonesian COnference on Religion and Peace), pernah menjabat sebagai Ahli Peneliti Utama Bidang Lektur Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama [1].
[sunting] Pendidikan
- Menamatkan Program Sarjana (S1) di IAIN Alauddin Makassar pada 1982
- Menamatkan Program Pascasarjana (S2 dan S3) di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 1992 dan 1997.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Musdah_Mulia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Profil Yang ditulis sendiri:
“Perempuan Pembaru Keagamaan dari Fatayat NU”
………. Fatayat NU harus mempunyai visi Islam yang progresif. Jika
tidak, ia akan sulit menangani berbagai problem sosial kontemporer,
khususnya menyangkut masalah-masalah perempuan, seperti kekerasan
domestik, buruh migran perempuan, perdagangan anak-anak dan perempuan,
keterlibatan perempuan dalam dunia politik dan masalah-masalah lainnya.
Apa gunanya agama jika tidak mampu memecahkan masalah-masalah
kontemporer yang kita hadapi. Nabi Muhammad sendiri memfungsikan agama
sebagai pembebas………
Saya
mengenal Fatayat NU sejak tahun 1970an ketika aktif di IPPNU dan PMII
wilayah Sulawesi Selatan. Pada sekitar tahun-tahun tersebut, aktivitas
Fatayat NU di Makassar mengalami kevakuman. Kendati demikian,
pengurusnya masih tetap ada yang pada saat itu ketua umumnya adalah Umi
Aisyah, pemilik Panti Asuhan di Makassar. Pada tahun 1980, saya diminta
untuk menjadi pengurus Fatayat Wilayah Sulawesi Selatan dan pada waktu
yang bersamaan ada surat dari Jakarta yang mengabarkan bahwa akan
mengaktifkan kembali Fatayat Makassar dengan menyelenggarakan kegiatan
workshop UU Perkawinan.
Dua
tahun berikutnya, yakni tahun 1982, saya menjadi Ketua Umum Fatayat
Wilayah Sulawesi Selatan hingga tahun 2000 (selama dua periode). Pada
tahun 1989, saya mengikuti Kongres Fatayat di Jakarta dan diajak masuk
dalam kepengurusan PP yang baru sebagai wakil sekjen. Selanjutnya, pada
1990, saya ke Jakarta meneruskan kuliah Pascasarjana di IAIN Syarif
Hidayatullah. Pada tahun yang sama, saya diminta oleh sahabat Mahfudhoh
Ali Ubaid untuk menjadi sekretaris umum karena sekretaris umum terpilih,
yakni sahabat Chisbiyah Rochim lebih memilih untuk aktif di Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan ada aturan tidak boleh merangkap
jabatan, saya yang semula menjadi sekretaris I bergeser posisinya
menjadi Sekretaris Umum.
Saya
efektif menjadi pengurus PP Fatayat selama dua periode (1990-2000).
Periode pertama sebagai Sekum, periode selanjutnya sebagai wakil ketua.
Sebagai orang yang bukan dari Jawa, saya sendiri tidak merasa dikucilkan
di lingkungan ini. Hanya saja terasa “lain” ketika saya ke daerah
sekitar Jawa Pada Kongres XI PP Fatayat, utusan-utusan wilayah non Jawa,
seperti Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi, berkoalisi mencalonkan saya
menjadi Ketua Umum. Ganjalan pun menghadang, yakni satu cabang, satu
suara. Karena yang banyak cabang Fatayat adalah Jawa, misalnya Jawa
Barat 40-an, Jawa Timur 45 cabang, Jawa Tengah sekitar 40-an, sementara
Sulawesi hanya 20 cabang, Kalimantan Selatan hanya 13 cabang. Jika
suara-suara dari Jawa ini digabung dengan daerah-daerah non Jawa, maka
tidak akan menyaingi jumlah suara yang berasal dari Jawa. Karena
pemilih dari Jawa ini jauh lebih banyak suaranya dibanding daerah-daerah
lainnya, maka saat itu saya tidak bisa menggungguli calon dari Jawa.
Dari dulu NU selalu mengandalkan basis massa dari Jawa, terutama dari
Jawa Timur.
Wacana Gender dan Pendidikan Politik Perempuan
Pada
periode kedua ketika Sri Mulyati Asrory tidak aktif sebagai ketua umum
Fatayat, karena ia harus meneruskan sekolahnya ke Kanada, kepemimpinan
Fatayat dipegang secara kolektif oleh ketua-ketua. Gagasan kepemimpinan
kolektif ini sesungguhnya tidak ada dalam AD/ART. Ini benar-benar
inisiatif pengurus. Saat itu kita mulai dengan merumuskan rencana
program kerja yang bekerja sama dengan beberapa penyandang dana asing
dalam jangka panjang dan berkesinambungan. Pada masa ini pun kita mulai
dengan program “Training Analisis Gender” kerja sama dengan Ford
Foundation.
Dalam
pelaksanaan training ini, kita mengundang para ulama untuk workshop.
Pada saat itu awalnya para kyai marah-marah karena dianggap mengadopsi
pikiran-pikiran Barat. Kita mengadu pada Gus Dur tentang masalah ini.
Gus Dur menanggapinya dengan mengatakan, “Kalian keliru, jangan
menggunakan istilah gender, gunakan istilah lain yang tidak menimbulkan
penolakan para kyai”. Pada saat itu akhirnya kita menggunakan istilah
“Latihan Pemberdayaan Perempuan” dan “Hak-hak Reproduksi Perempuan”.
Saya
menyadari bahwa untuk mensosialisasikan ide kesetaraan laki-laki dan
perempuan di lingkungan NU ini tidaklah mudah. Jangankan di tingkat
ranting, cabang dan wilayah, pada tingkat pengurus pusat sendiri tidak
sekaligus. Harus berulang-ulang. Pemahaman bahwa perempuan yang utama
adalah di rumah, masih sangat kuat. Kita mempunyai pengalaman pahit
ketika kita ditolak oleh Pengurus NU Jawa Tengah saat akan
menyelenggarakan pelatihan gender. Tetapi saat itu kita tidak kehilangan
akal. Kita mengatur kembali strategi bagaimana supaya mereka bisa
menerima. Akhirnya kita menggunakan istilah-istilah yang cukup akrab
dengan kultur NU. Pada akhirnya mereka pun menerima.
Ketika
kita mensosialisasikan gagasan kesetaraan gender di Fatayat,
sesungguhnya kita sedang membangun usaha demokratisasi dalam unit
terkecil masyarakat, yakni keluarga. Kita membentuk kesadaran kalangan
perempuan bahwa kita harus bisa menentukan pilihan apa yang kita
inginkan dan pikirkan. Kita bebas menyuarakan pendapat dan jangan
sekali-kali mau dibodohi. Kita tidak memilih cara-cara demonstrasi di
jalanan, tetapi lebih memilih cara-cara yang persuasif.
Dari
berbagai pelatihan gender yang telah dilakukan, anggota Fatayat di
berbagai wilayah, cabang, bahkan ranting tidak asing ketika kata
“gender” disebut. Di samping di lingkungan NU sendiri lumrah ketika
perempuan aktif dalam domain publik, terutama di dunia politik.
Pelatihan gender ini semakin memperkuat kesadaran perempuan akan
hak-haknya sebagai perempuan, meskipun terkadang mereka tidak bisa
menghindar dari “peran ganda”.
Pada
kurun waktu ini pun kita menggulirkan kesadaran hak-hak politik
perempuan. Saat itu kita menyadari bahwa NU ini merupakan massa politik
yang besar, diperebutkan oleh banyak partai, tetapi masih banyak
perempuan NU, terutama pada tingkat akar rumput yang masih buta politik.
Pada suatu acara seminar, saya pernah menyatakan bahwa istri boleh
berbeda mencoblos partai dengan suaminya. Mendengar pernyataan ini,
sebagian perempuan peserta seminar terkejut. Dulu tidak pernah terpikir
bahwa dalam satu rumah bisa berbeda partai. Dianggapnya memilih partai
sama dengan memilih agama. Dalam program “Pendidikan Politik Perempuan
untuk Masyarakat Akar Rumput” ini, kita menggunakan media karikatur yang
menyatakan pesan-pesan bahwa suami dan istri boleh berbeda dalam
memilih partai politiknya.
Sesungguhnya
pada berbagai pelatihan tersebut, ada tiga isu yang kita perkenalkan:
Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan dan keadilan gender, dan demokrasi.
Kita tidak bisa memisahkan ketiga isu tersebut jika bicara tentang
hak-hak perempuan. Kendati pada akhirnya yang menonjol adalah isu
kesetaraan gender.
Dalam
lingkungan NU sendiri terdapat Maklumat akan pengakuan tentang
kesetaraan gender yang dikeluarkan pada Munas NU di Lombok pada tahun
1997. Munas tersebut melahirkan suatu keputusan atau maklumat tentang
“Kedudukan Perempuan Dalam Islam” (Makanah al-Mar’ah fil Islam).
Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam maklumat tersebut dapat
disimpulkan dalam 5 (lima) poin berikut:
1) Islam mengakui eksistensi perempuan sebagai manusia yang utuh dan karenanya patut dihormati;
2) Islam mengakui hak perempuan sama dengan hak laki-laki dalam hal pengabdian kepada agama, nusa, dan bangsa;
3) Islam mengakui adanya perbedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan karena perbedaan kodrati;
4) Islam mengakui peran publik perempuan di samping peran domestiknya; dan
5) Ajaran Islam yang menempatkan perempuan pada
posisi yang setara dengan laki-laki itu dalam realitasnya telah
mengalami distorsi akibat pengaruh kondisi sosial dan budaya.
Walaupun maklumat ini sangat fundamental dalam
mendukung gerakan perempuan di lingkungan NU, namun tetap diakui masih
terasa bias nilai-nilai patriarki di dalamnya, seperti terbaca dalam
pernyataan bahwa: “peran domestik perempuan yang hal itu merupakan
kesejatian kodrat wanita, seperti sebagai pendidik yang pertama dan
utama bagi anak-anak mereka”. Artinya, dalam maklumat itu pemahaman
tentang kodrat perempuan masih bias gender. Namun, setidaknya, maklumat
itu telah menegaskan pengakuan akan kebolehan kaum perempuan berkiprah
di dunia publik yang selama ini dianggap sebagai monopoli kaum
laki-laki.
Namun, yang dianggap sangat mendasar adalah bahwa
di akhir maklumat terbaca komitmen NU yang kuat untuk meningkatkan
partisipasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. NU juga menyatakan
komitmennya untuk ikut memprakarsai transformasi kultur kesetaraan yang
pada gilirannya mampu menjadi dinamisator pembangunan nasional dalam era
globalisasi dengan memberdayakan perempuan Indonesia pada proporsi yang
sebenarnya.
Bagi kalangan perempuan, khususnya bagi organisasi
perempuan di lingkungan NU, maklumat ini merupakan dokumen historis
yang amat strategis yang dapat dijadikan dasar legitimasi dan advokasi
bagi upaya-upaya pemberdayaan perempuan yang sebelumnya masih sangat
kontroversial di lingkungan NU. Maklumat itu amat menggembirakan. Betapa
tidak, NU yang didirikan pada 1926 itu memerlukan kurun waktu selama
kurang lebih 71 tahun (1997) untuk dapat melahirkan suatu maklumat yang
mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam seluruh aspek
kehidupan. Keputusan Munas tentang kedudukan perempuan ini muncul dalam
konteks pembahasan masalah-masalah agama tematis (Masail Diniyyah
Maudlu’iyyah). Pembahasan itu mencakup empat tema pokok: 1) Nashbul Imam
(Kepemimpinan dan Demokrasi; 2) Hak Asasi Manusia dalam Islam;
3)Kedudukan Wanita dalam Islam; dan 4) Soal Reksadana.
Menarik dicatat bahwa Munas kali ini secara intens
membahas masalah demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM), dua isu yang
sedang menjadi tema pokok dalam setiap diskursus ilmiah, baik dalam
forum nasional maupun internasional. Kedua isu itu amat terkait dengan
pembicaraan soal kesetaraan gender yang menjadi isu global saat ini.
Untuk menyatakan dirinya sebagai organisasi pendukung nilai-nilai
demokrasi dan HAM, mau tidak mau NU harus juga menerima ide kesetaraan
gender yang tentu saja dalam implementasinya pada program organisasi
disesuaikan dengan tradisi dan nilai-nilai keislaman yang dianut NU.
Maklumat itu sangat strategis dan sangat signifikan,
terutama dalam memberi justifikasi upaya-upaya pemberdayaan perempuan
di lingkungan NU. Sehingga organisasi-organisasi perempuan yang menjadi
Badan Otonom NU, seperti Muslimat, Fatayat dan IPPNU merasa lebih mantap
dalam mengelola dan mengembangkan program-program yang berkaitan dengan
pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan perempuan.
Sayangnya, setelah Munas Alim Ulama dan Konbes NU
yang melahirkan maklumat itu, tidak tampak respons yang serius di
jajaran Pengurus Besar NU untuk menindaklanjuti atau mengelaborasi
keputusan tersebut dalam bentuk program kerja. Sebab, sebuah kesadaran
baru tentu tidaklah berhenti sebagai maklumat belaka. Tentu dirasa perlu
ada langkah-langkah konkret dari NU sendiri untuk menjabarkan isi
maklumat tersebut sehingga komitmen NU itu tidak terhenti hanya pada
tataran wacana. Dan seringkali ide-ide besar NU hanya terhenti pada
tingkat wacana sebelum masuk ke tingkat aksi.
Pasca Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Lombok tahun
1997, terdengar suara-suara yang menyerukan perlunya wakil perempuan
dalam kepengurusan PBNU mendatang. Yang menarik, harapan itu bukan hanya
datang dari kalangan intern organisasi perempuan NU, melainkan juga
dari kaum laki-lakinya, khususnya dari lingkungan generasi muda NU.
Tokoh NU yang dikenal banyak merespons harapan tersebut, di antaranya
adalah KH Said Agil Siradj, salah seorang wakil ketua PBNU. Dalam
beberapa kesempatan, misalnya pada acara pembukaan “Latihan Pemberdayaan
Hak-Hak Perempuan” yang diselenggarakan Fatayat NU pada 21 April 1998,
beliau menjanjikan akan mengupayakan masuknya perempuan dalam struktur
kepengurusan PBNU mendatang.
Tuntutan mengenai perlunya keterwakilan perempuan
dalam PBNU selanjutnya dinyatakan secara resmi oleh organisasi Muslimat
NU. Dalam seminar yang bertemakan “Membuka Cakrawala Baru Perempuan di
NU” yang diselenggarakan PP Muslimat NU pada 10 November 1999 di
Jakarta, beberapa hari menjelang pelaksanaan Muktamar XXX NU di Lirboyo,
Kediri, Jawa Timur. Seminar tersebut antara lain merekomendasikan
perlunya langkah-langkah konkret NU untuk merealisasikan isi maklumat NU
1997 tersebut dalam bentuk merekrut kalangan perempuan NU untuk
didudukkan pada struktur kepengurusan PBNU yang akan datang, baik pada
tingkat Syuriyah maupun pada tingkat Tanfiziyah.
Kita
sesungguhnya mengusahakan bagaimana perempuan bisa masuk dalam jajaran
pengurus PBNU. Hal ini karena jika ada kebijakan atau pembahasan tentang
perempuan dalam NU, kita bisa bersuara. Hanya saja sampai sekarang
usulan itu belum bisa diterima. Barangkali para kyai berfikir ingin
melindungi (protection), tetapi yang terjadi adalah marjinalisasi.
Bahkan dalam bahsul masail pun perempuan tidak pernah diikutsertakan
sebagai subyek, paling banter sebagai ”penonton”.
Seputar Counter Legal Draf atas Kompilasi Hukum Islam
Nilai-nilai
Ahlussunah wal Jamaah (ASWAJA) yang selama ini menjadi landasan
Jam’iyyah NU, sejauh yang saya cermati dan pelajari sesungguhnya sangat
liberal. Pemahaman ini muncul karena saya banyak membaca literatur
Islam. Gagasan-gagasan “liberal Islam” yang saya gulirkan sesungguhnya
bukan ijtihad baru dan tidak mengubah ajaran dasar Islam sedikit pun.
Kita hanya mengumpulkan ijtihad yang sudah dilakukan dan mengedepankan
ijtihad yang progresif yang selama ini tidak pernah dikedepankan. Dengan
kata lain, saya hanya menggali penafsiran Islam yang sudah lama tidak
mempunyai kesempatan untuk ditampilkan.
Hal ini pula
yang melandasi mengapa saya dengan teman-teman merancang Counter Legal
Draf atas Kompilasi Hukum Islam. Draf ini memang tidak ada kaitannya
dengan Fatayat NU, karena program ini dirancang oleh Tim Pengarusutamaan
Gender Departemen Agama RI dimana saya sebagai ketuanya. Tetapi bahwa
gagasan ini muncul tidak lepas dari fakta kuatnya kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga, maraknya perkawinan yang tidak dicatatkan,
poligami, prostitusi, kawin kontrak, perkawinan dibawah umur, dan
lain-lain. Soal kawin kontrak, misalnya, kita menghadapi persoalan
banyaknya perempuan yang dikawini oleh laki-laki berkewarganegaraan
asing (WNA), terutama dari Arab Saudi dengan istilah “satu paket” hanya
dengan membayar maskawin Rp. 200. 000. Tidak jarang yang mengawinkan pun
para kyai. Laki-laki Arab itu dulunya datang ke tempat-tempat hiburan
malam di Bangkok, Hongkong dan negara-negara lain. Kini mereka beralih
ke Indonesia setelah peristiwa pengeboman World Trade Centre (WTC) di
Amerika Serikat pada 11 Sepetember 2001. Mengapa pilihannya Indonesia?,
karena di sini aman dan lagi pula murah sekali istilah mereka rakhis
jiddan. Yang memprihatinkan bahwa para orang tua pun berlomba-lomba
menyodorkan anak gadisnya yang masih di bawah umur kepada laki-laki Arab
itu dengan harapan dapat dikawini untuk mendapatkan ”berkah” karena
mereka meyakini yang datang itu adalah keturunan Nabi. Para ulama tidak
mempermasalahkan hal itu karena menurut mereka itu bukan perzinahan,
melainkan perkawinan yang sah. Memang jika dilihat dari definisi nikah
ala Imam Syafii, perbuatan itu dapat dikategorkan sebagai perkawinan.
Namun, apakah kita hanya melihat aspek teologisnya saja dan melupakan
dampak sosial yang ditimbulkan. Sekarang di daerah sekitar
Jakarta-Bandung, khususnya di daerah Gunung Putri, Bogor ditemukan
sejumlah bayi berwajah Arab yang tidak diketahui siapa ayahnya,
sementara ibunya masih di bawah umur dan sudah menjadi janda. Bagaimana
masa depan anak-anak dan ibu-ibu muda tersebut? Mereka tidak punya
perlindungan hukum sama sekali. Ana-anak tersebut tidak punya Akta Lahir
sedang ibu mereka juga tidak punya Akta Nikah. Akta Lahir bagi seorang
anak hanya bisa diperoleh jika orang tuanya punya Akta Nikah.
Menghadapi problem sosial seperti ini sudah waktunya kita mengkritisi
definisi nikah yang selama ini kita perpegangi. Apakah nikah itu sekedar
untuk melampiaskan hasrat biologis? Apakah rukun nikah cukup hanya
dengan lima aspek, ijab qabul, calon suami, calon isteri, wali dan
saksi? Perlu ada ijtihad baru agar dapat merespon persoalan sosial yang
muncul di masyarakat.
CLD atas KHI ini
menawarkan perlunya pencatatan dimasukkan menjadi salah satu rukun
nikah sehingga tanpa dicatatkan perkawinan itu tidak sah. Hal ini untuk
mencegah timbulnya perkawinan sirri, perkawinan di bawah umur,
perkawinan kontrak dan berbagai bentuk perkawinan yang sangat berpotensi
mengeksploitasi perempuan dan menimbulkan korban di kalangan anak-anak.
Dari lingkungan
NU sendiri tidak ada penolakan yang berarti terhadap CLD KHI ini.
Barangkali mereka sudah terbiasa dengan perbedaan. Dukungan terbesar
justru datang dari kalangan akademik, terutama dari luar negeri dimana
kita bisa menemukan kurang lebih 80 tulisan yang membahas tentang CLD
KHI untuk kepentingan tesis dan disertasi. Mereka sangat antusis
terhadap perubahan hukum keluarga yang muncul dari Indonesia. Salah satu
pasal yang dianggap maju adalah tentang perlindungan anak di luar nikah
(ekstra marital chidren). Draf ini dianggap maju karena meletakkan
tanggung jawab pemeliharaan anak di luar nikah pada individu, yakni pada
ibu dan ayah biologisnya, bukan pada tanggungjawab negara sebagaimana
dalam hukum keluarga Eropa. Draf ini pun pernah diseminarkan di beberapa
universitas ternama, seperti di Harvard University, Amerika Serikat, di
Inggris, Singapura, dan lain-lain. Pada beberapa universitas di dalam
negeri pun sudah menjadi kajian akademis dan dihargai sebagai karya
intelektual.
Penolakan
cukup tajam terhadap CLD KHI ini muncul dari kelompok “Islam
Puritan”. Saya pernah diundang dalam seminar di Yogyakarta dan
dipanelkan dengan Ketua Front Pembela Islam (FPI), Hizbut-Tahrir dan
Majlis Mujahidin. Pada forum ini mereka mempertanyakan, mengapa harus
ada pencatatan dalam perkawinan sebagai salah satu rukun nikah, bukankan
Nabi sendiri tidak melakukannya? Saya jawab, “Jangankan pada masa Nabi
Muhammad yang hidup pada abad ke-7, perkawinan Nenek dan kakek saya pun
tidak ada pencatatan pernikahannya. Tetapi pada masa itu barangkali
tidak menjadi masalah, karena para saksinya masih bisa dipercaya. Pada
jaman kita sekarang, salah satu bukti yang menunjukkan seseorang
merupakan pasangan suami istri adalah akte nikah. Argumen teologisnya,
kita dapat berqiyas ke ayat 282 al-Baqarah yang mewajibkan pencatatan
dalam transaskri hutang-piutang. Kalau dalam utang piutang saja wajib
dicatatkan, apalagi transaksi perkawinan yang nota bene merupakan
transasksi paling penting dalam hidup manusia.
Dalam hal ini,
hemat saya, Fatayat NU harus mempunyai visi Islam yang progresif. Jika
tidak, maka ia akan sulit menangani berbagai problem sosial kontemporer
yang terkait dengan masalah-masalah perempuan, seperti kekerasan
domestik, buruh migran perempuan, perdagangan perempuan, keterlibatan
perempuan dalam dunia politik dan lain-lain. Hemat saya, apa gunanya
agama jika ia tidak mampu memecahkan masalah-masalah kontemporer yang
kita hadapi. Bukankah Nabi Muhammad sendiri memfungsikan agama sebagai
pembebas, mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi umat, mengatasi
moralitas masyarakat pada jamannya, menghapus perbudakan dan mengangkat
martabat perempuan sebagai manusia yang utuh.
Jaringan Fatayat
Pada
masa kepengurusan saya mulai dibangun jaringan kerja sama dengan
LSM-LSM perempuan yang bergerak pada berbagai isu. Kepentingan kita pada
waktu itu awalnya adalah meminta teman-teman dari berbagai LSM tadi
sebagai narasumber, karena merekalah yang sudah lebih dahulu mengakses
perspektif kesetaraan gender, mempunyai keterampilan melatih dan
mengetahui bahan-bahan bacaannya. Dari sanalah jaringan kerja mulai
terbina.
Sedangkan
dengan organisasi-organisasi lain, hubungannya tidak lebih karena
sebagai organisasi payung. Dengan KOWANI, BMOIWI maupun KNPI adalah
karena harus ada perwakilan dari berbagai organisasi, tidak terkecuali
organisasi Fatayat. Sementara jaringan dengan organisasi internasional
karena kita diperkenalkan oleh organisasi penyandang dana (funding)
Hambatan yang Dihadapi
Hambatan
yang dirasakan sepanjang yang diamati adalah: Pertama, Fatayat NU
adalah organisasi sayap yang tidak bisa sepenuhnya mandiri. Organisasi
Fatayat harus mengacu kepada hasil-hasil Muktamar NU. Kebijakan yang
dikeluarkan NU hampir semuanya berimbas kepada organisasi-organisasi
otonomnya, tidak terkecuali Fatayat. Kedua, ada perbenturan kapling
kerja antara Fatayat dengan Muslimat NU. Misalnya, Fatayat tidak
diperkenankan melakukan program kerja tertentu, karena itu sudah menjadi
kapling Muslimat NU. Sedihnya, satu sama lain bukan saling mendukung,
malah saling bersaing dan sayangnya pula persaingan yang ada sering
tidak sehat. Ketiga, belum dilaksanakannya secara tegas aturan
pembatasan usia untuk menjadi anggota dan pengurus Fatayat. Di
daerah-daerah ada yang sudah berusia 60 tahun, tetapi masih aktif di
Fatayat. Sebaliknya, banyak pula perempuan yang masih muda-muda, tetapi
aktif di Muslimat. Mengenai keanggotaan pun belum juga jelas, karena
belum tuntasnya masalah kartu anggota. Keempat, Pengurus Pusat Fatayat
NU sebaiknya tidak mengerjakan program teknis yang bersifat operasional,
tetapi pada filosofi program dan perumusan kebijakan. Pekerjaan teknis
operasional tersebut cukup saja diserahkan kepada wilayah-wilayah,
supaya pengurus pusat lebih fokus melakukan perencenaan organisasi
jangka panjang dan evaluasi.
Biografi Diri
Saya lahir dan
dibesarkan dari lingkungan dengan tradisi Islam yang taat dan ketat.
Sebagai perempuan, sejak kecil saya diperkenalkan bahwa aurat perempuan
itu bukan hanya tubuh dan rambutnya, melainkan juga suaranya. Karena
itu, sejak remaja saya sudah memakai pakaian tertutup dan berkerudung.
Ruang gerak saya sering diawasi oleh keluarga, baik oleh kakek maupun
paman. Misalnya, saya tidak boleh kos (kontrak rumah atau kamar) saat
mahasiswa karena kuatir bebas dengan laki-laki. Saya pun akhirnya
dibelikan rumah yang dekat dengan paman dan setiap saat bisa diawasi.
Pandangan-pandangan keislaman saya mulai “tercerahkan” ketika memasuki
pendidikan jenjang S2 di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan
berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution.
Berkaitan
dengan aurat perempuan ini, saya mempunyai pengalaman ketika terbang
dari Madinah ke Kairo dimana saat itu saya sedang menulis disertasi di
Mesir. Di pesawat saya bertemu dengan sejumlah perempuan dari Madinan
yang memakai cadar. Tetapi ketika penumpang tersebut turun di Kairo,
pakaian cadar mereka semua dibuka dan mereka memakai pakaian mini dan
ketat melebihi orang-orang Eropa. Kepada salah seorang di antara mereka
saya bertanya, “Mengapa di buka?”. Mereka menjawab, “Itu kan hanya
pakaian adat”. Saya hampir shok mendengarnya. Dari pengalaman inilah
saya terpacu untuk membaca literatur tentang aurat perempuan. Dari
sejumlah literatur yang saya baca, para ulama ternyata berbeda pendapat
mengenai aurat perempuan ini, ada yang ketat, moderat, hingga yang
liberal.
Prof.
Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., APU, lahir 3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi
Selatan. Istri dari Ahmad Thib Raya, guru besar Pascasarjana UIN
Jakarta. Pendidikan formalnya dimulai dari pesantren As’adiyah, lalu
menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada IAIN Alauddin
Makassar; selanjutnya S2 Bidang Sejarah Pemikiran Islam; dan S3 Bidang
Pemikiran Politik Islam, keduanya di Pascasarjana UIN Jakarta. Selain
itu, mengikuti sejumlah pendidikan nonformal, seperti kursus Singkat
Democracy and Civil Society di Melbourne, Australia (1998); Kursus
Singkat Pendidikan HAM di Universitas Chulalongkorn, Thailand (2000);
Kursus Singkat Advokasi Penegakan HAM dan Demokrasi (International
Visitor Program) di Amerika Serikat (2000); Kursus Singkat Manajemen
Pendidikan dan Kepemimpinan di Universitas George Mason, Virginia,
Amerika Serikat (2001); Pelatih HAM di Universitas Lund, Swedia (2001);
Manajemen Kepemimpinan Perempuan di Bangladesh Institute of
Administration and Management (BIAM), Dhaka, Bangladesh (2002).
Pada
1985, mulai bekerja sebagai Dosen Luar Biasa di IAIN Alauddin dan di
Universitas Muslim Indonesia, Makassar, disamping menjadi peneliti pada
Balai Penelitian Lektur Agama, Makassar. Sejak 1990, pindah ke Jakarta
menjadi peneliti pada Balitbang Departemen Agama Pusat, dan menjadi
dosen di beberapa tempat, seperti Institut Ilmu-Ilmu al-Quran, dan
Program Pascasarjana UIN Jakarta.
Musdah
pernah menjabat sebagai Kepala Balai Penelitian Agama dan
Kemasyarakatan Departemen Agama; Staf Ahli Menteri Negara Urusan Hak
Asasi Manusia, Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan
Minoritas; Anggota Tim Ahli Menteri Tenaga Kerja RI; dan Sekarang Staf
Ahli Menteri Agama, Bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional.
Ia
menjadi pembicara di berbagai seminar, baik di dalam dan luar negeri.
Menulis sejumlah makalah dan buku. Buku yang terpublikasi secara luas
diantaranya adalah Negara Islam: Pemikiran Politik Haikal (Paramadina,
2001) Islam Menggugat Poligami ( Gramedia, 2004); Kesetaraan dan
Keadilan Gender dalam Perspektif Islam (2001) dan Muslimah Reformis:
Perempuan Pembaru Keagamaan (Mizan, 2005) ( Ditulis oleh: Neng Dara
Affiah)
0 komentar:
Posting Komentar
Saudaraku, mari kita per-erat tali silaturrahmi dengan menuliskan komentar terbaikmu di sini..